Ultras
diambil dari bahasa latin yang mengandung artian 'di luar kebiasaan'.
Kalangan ultras tidak pernah berhenti menyanyi mendengungkan yel-yel
lagu kebangsaan tim mereka selama pertandingan berlangsung. Mereka juga
rela berdiri sepanjang pertandingan berlangsung (karena negara-negara
yang terkenal dengan ultras nya seperti Argentina dan Italia,
menyediakan
tribun berdiri di dalam salah satu sudut stadion
mereka). Selain itu pun para ultras paling senang menyalakan kembang api
atau petasan di dalam stadion karena hal itu didorong untuk mencari
perhatian, bahwa mereka hadir di dalam kerumunan manusia di dalam
stadion.
“As an ultra I identify myself with a particular way
of life. We are different from ordinary supporters because of our
enthusiasm and excitement. This means, obviously, rejoicing and
suffering much more acutely than everybody else “.
Nukilan
kalimat dari seorang anggota Brigate Rossonere, salah satu ultras AC
Milan, membantu kita untuk mengenali fenomena ultras. Ultras bukanlah
sekadar kumpulan suporter (tifosi) biasa melainkan kelompok suporter
fanatik nan militan yang mengidentifikasikan secara sungguh-sungguh
dengan segenap hasrat dan melibatkan dengan amat dalam sisi emosionalnya
pada klub yang mereka dukung.
Ultras mempelopori suporter yang
amat terorganisir (highly organized) dengan gaya dukung ‘teatrikal’
yang kemudian menjalar ke negara-negara lain. Model tersebut sekarang
telah begitu mendominasi di Prancis, dan bisa dibilang telah memberi
pengaruh pada suporter Denmark ‘Roligans’, beberapa kelompok suporter
tim nasional Belanda dan bahkan suporter Skotlandia ‘Tartan Army’
Model tersebut masyhur karena menampilkan pertunjukan-pertunjukan
spektakuler meliputi kostum yang terkoordinir, kibaran aneka bendera,
spanduk & panji raksasa, pertunjukan bom asap warna-warni, nyala
kembang api (flares) dan bahkan sinar laser serta koor lagu dan nyanyian
hasil koreografi, dipimpin oleh seorang CapoTifoso yang menggunakan
megaphones untuk memandu selama jalannya pertandingan.
Dalam
tradisi calcio, ultras adalah “baron” dalam stadion. Mereka menempati
dan menguasai salah satu sisi tribun stadion, biasanya di belakang
gawang, yang kemudian lazim dikenal dengan sebutan curva. Ultras
tersebut menempati salah satu curva itu, baik nord (utara) atau sud
(selatan), secara konsisten hingga bertahun-tahun kemudian. Utras dari
klub-klub yang berbeda ditempatkan pada curva yang saling berseberangan.
Selain itu, berlaku aturan main yang unik yaitu polisi tidak
diperkenankan berada di kedua sisi curva itu.
Kelompok Ultras
yang pertama lahir adalah (Alm.) Fossa dei Leoni, salah satu kelompok
suporter klub AC Milan, pada tahun 1968. Setahun kemudian pendukung klub
sekota sekaligus rival, Internazionale Milan, membuat tandingan yaitu
Inter Club Fossati yang kemudian berubah nama menjadi Boys S.A.N
(Squadre d’Azione Nerazzurra). Fenomena ultras sempat surut dan muncul
lagi untuk menginspirasi dunia dengan aksi-aksi megahnya pada
pertengahan tahun 1980-an.
Fenomena ultras sendiri diilhami
dari demontrasi-demontrasi yang dilakukan anak-anak muda pada saat
ketidakpastian politik melanda Italia di akhir 1960-an. Alhasil,
sejatinya ultras adalah simpati politik dan representasi ideologis.
Setiap ultra memiliki basis ideologi dan aliran politik yang beragam,
meski mereka mendukung klub yang sama. Ultras memiliki andil
“melestarikan” paham-paham tua seperti facism, dankomunism socialism
.
Mayoritas ketegangan antar suporter disebabkan oleh perbedaan pilihan
ideologis daripada perbedaan klub kesayangan. Untungnya, dalam tradisi
Ultras di Italia terdapat kode etik yang namanya Ultras codex. Salah
satu fungsi kode etik itu “mengatur” pertempuran antar ultras tersebut
bisa berlangsung lebih fair dan “berbudaya”. Salah satu etika itu adalah
dalam hal bukti kemenangan, maka bendera dariultras yang kalah akan
diambil oleh ultras pemenang. Kode etik lainnya ialah, seburuk apapun
paratifosi itu mengalami kekejaman dari tifosi lainnya, maka tidak
diperkenankan untuk lapor polisi.
Dewasa ini, ultras kerap
dipandang sebagai lanjutan atau warisan dari periode ketidakpastian dan
kekerasan politik 1960-an hingga 1970-an. Berbagai kesamaan pada tindak
tanduk mereka disebut sebagai bukti dari sangkut paut ini.
Kesamaan-kesamaan itu tampak pada nyanyian lagu - yang umumnya digubah
dari lagu–lagu komunis tradisional - lambaian bendera dan panji,
kesetiaan sepenuh hati pada kelompok dan perubahan sekutu dengan ultras
lainnya, dan, tentunya, keikutsertaan dalam kekacauan dan kekerasan baik
antara mereka sendiri dan melawan polisi!
Bentrok dengan
polisi menjadi salah satu tabiat asli ultras. Bagi ultras, polisi adalah
hal yang diharamkan alias A.C.A.B (All Cops Are Bastar*s). Sebulan
sebelum Sandri terbunuh, muncul klaim dari pihak polisi yang menyatakan
bahwa tak kurang dari 268 kelompok ultra dengan aspirasi politik,
semuanya memiliki semangat kebencian pada polisi. Selain itu, masih
menurut polisi, mayoritas kelompok tersebut berhubungan dengan gerakan
ekstrim kanan yang fasis.
Tak hanya polisi, manajemen klub,
staff pelatih dan bahkan pemain juga pernah mengalami perlakuan tidak
menyenangkan dari ultras. Beberapa kelompok Ultras dalam menjamin
dukungannya (terutama dalam pertandingan tandang), memaksa klub untuk
memberi jatah tiket gratis, keuntungan perjalanan, dan bahkan hak atas
merchandise. Ketegangan dengan pihak klub kerap berujung boikot dukungan
pertandingan di kandang.
Namun sebenarnya ultras tidak seseram
yang dibayangkan. Bahkan dibandingkan dengan Hools (FIRM) di inggris.
Karena sebenarnya ultras menjauhi yang namanya keributan. (walaupun ada
yg suka nyari masalah).Dan tidak semua kelompok ultras berafiliasi
politik. memang ada yang kanan, kiri, merah, dsb...Tapi yang tidak
bermain politik juga ada.
Pelatih atau manajer yang mundur
(bukan karena dipecat manajemen klub) biasanya adalah produk dari
tekanan ultras. Dari pihak pemain, Christian “Bobo” Vieri pernah
mengalami teror fisik dari ultrasInter, termasuk dirusaknya salah satu
properti bisnisnya, karena dianggap berkurang kadar loyalitasnya pada
tim.
Dengan kemegahan dan kesuramannya ultras adalah fenomena
khas Italia, representasi masyarakat Italia, dan identitas calcio.
Seperti halnya kualitas Lega Serie A yang menjadi kiblat dunia sepak
bola, seperti sistem catenaccio yang mengilhami banyak pelatih di dunia,
maka aksi ultras di stadion pun menjadi rujukan dan referensi bagi
suporter-suporter negara lain, termasuk kelompok suporter di Indonesia.
Suporter Indonesia Rasa Ultras
Suporter di Indonesia sedang berada dalam periode bertumbuh. Dalam lima
tahun terakhir ini, muncul kelompok-kelompok suporter terorganisir.
Suatu fenomena yang berdampak amat positif bagi perkembangan sepak bola
nasional. Kehadiran kelompok suporter ini sedikit banyak merubah gaya
dukung dan pola perilaku penonton di lapangan. Secara keseluruhan,
berdampak pada industri sepak bola nasional yang lebih semarak dan
berwarna.
Tak bisa dipungkiri aksi-aksi kreatif kelompok
suporter di Indonesia ini mengadopsi gaya suporter luar negeri. Meski di
kemudian hari, terjadi proses kreatif dengan lebih banyak menampilkan
produk budaya lokal. Suporter luar negeri yang menginspirasi itu bisa
dari Barras Bravas (Argentina/Amerika Latin),Roligan (Denmark), Tartan
Army (Skotlandia) dan tentunya Italian Ultras!
Kentalnya budaya
ultras bisa dilihat dengan teramat jelas dari atraksi kelompok suporter
kita di lapangan. Mulai dari menempati sisi tribun tertentu meski tidak
selalu di belakang gawang. Namun yang konsisten di sekitar belakang
gawang diantaranya yaitu ,Utras Persija,Orange Street
Boys(Persija),Slemania (PSS Sleman), dan Brajamusti (PSIM Jogjakarta),
sedangkan beberapa kelompok suporter lainnya lebih suka di tribun tengah
menghadap kamera! Menggunakan istilah asing (Ultras) terkadang tidak
juga salah asal mengerti dan paham mengenai istilah tersebut. Ultras
yang dipakai lebih ke mentalitasnya.. nilai2nya... Saat supporter
berdiri 90 menit dan meneriakkan lagu2 pembangkit semangat (bukan lagu2
cacian kepada suatu kelompok), tak peduli hasil yang dicapai,itu juga
merupakan bagian dari nilai2 ultras... saat anda melakukan koreografi2
memukau, itu bagian dari nilai2 ultras..ataupun saat kami bertempur
dengan supporter , itu juga bagian dari nilai2 ultras..yang jelas Ultras
tidak akan menyerang jika tidak diserang terlebih dahulu,tidak akan
menolong jika tidak diperlukan
Tapi nilai2 itu, pastilah
tercampur dengan budaya kita sendiri... terkadang beberapa komunitas di
dalam suporter Persija juga menggunakan istilah ultras, walaupun saat
mengaku ultras, mereka dengan bangganya berfoto2 menunjukkan identitas
mereka, ya mungkin itu pemahaman akan arti ultras oleh
mereka...(narsisme)… Di Luar Negri (Italy,Inggris,German,dll) seorang
ULTRAS mungkin tidak punya KTA/ID Card atau bahkan kelompok tersebut
sampai memiliki AD/ART karena mereka sangat paham arti kata Ultras,
alasan mereka datang ke stadion benar-benar dari Hati dan Jiwanya..bukan
juga karena UANG…sedangkan di INDONESIA UANG adalah alat detok sempurna
untuk sebuah loyalitas..Orang bisa pindah agama,keyakinan,Klub,bahkan
Partai.. Bagi saya AGAMA bisa dipeluk oleh ribuan bahkan jutaan
umat,TETAPI SEORANG manusia hanya bisa PELUK SATU AGAMA, apabila ada yg
percaya selain TUHANnya maka disebut Musyrik Bahkan KAFIR...Team
Sepakbola yang saya dukung Bisa didukung oleh puluhan ribu
supporter,TETAPI SEORANG SUPPORTER HANYA BISA MEMILIH SATU TEAM
SEPAKBOLA SAJA...Tetapi jika mendukung lebih dari satu team,maka bisa
disebut orang yang tidak memiliki komitmen atau bahkan bisa dicap
Pengkhianat…maka d iIndonesia muncul slogan seperti SATU JAKARTA SATU
(PERSIJA) ,SALAM SATU JIWA(AREMA) dll. Pendukung suatu klub tak harus
wadah tunggal (seperti Orde Baru). Apalagi saat ini, mereka (kelompok
suporter) melengkapi dengan AD/ART bahkan disahkan dengan akte notaris
segala. Ujung-ujungnya adalah konflik kepentingan dan potensi
dimanfaatkan elit politik. Contoh di SRIWIJAYA FC supporter Singamania
dan Beladas, di Persiba ada PFC dan Balistik, di PERSIJAP ada Banaspati
dan JETMEN,dll
Nah kalo ultras di Indonesia itu yang hebat,
terlalu rapi. Kalo diluar negeri mereka hanya merupakan komunitas
ataupun kelompok. Kalo disini, kebanyakan merupakan organisasi yang
memiliki AD/ART. Parahnya masyarakat awam tidak bisa membedakan yang
mana julukan suporter dengan nama kelompok suporter. Seperti contoh The
Jakmania. Yang merupakan organisasi suporter pendukung Persija, tapi
sering diartikan sebagai julukan untuk menyebut seluruh suporter
Persija. Padahal gak semua suporter Persija adalah anggota The Jakmania.
Dan memang tidak semua klub punya julukan bagi suporter mereka.
Dirijen seperti Yuli Sumpil, yang sohor itu adalah manifestasi seorang
CapoTifoso. Yuli memiliki wibawa seorang CapoTifoso, apabila ia
memerintahkan untuk melakukan suatu gerakan maka akan dipatuhi oleh
suporter termasuk (seandainya) memerintahkan mengintimidasi pemain lawan
dengan lemparan benda-benda, tetapi apabila ia melarang, maka tidak ada
satu pun suporter yang berani melawannya. Walaupun ada yang berpendapat
seorang Yuli Sumpil tidak pantas disebut demikian Karena dia "hanya"
memimpin Aremania. Beda dengan capo tifoso di curva sud atau nord di
Itali misalnya. Yang tidak hanya memimpin kelompoknya, tapi memimpin
seluruh kelompok yang ada di curva itu, untuk membentuk koreo yang
indah..
Belum lagi kostum yang terkoordinir, dan bentangan
spanduk yang di pinggir-pinggir lapangan adalah rasa ultras pada
suporter Indonesia. Sayangnya, prestasi tim nasional dan klub-klubnya
tak semanis prestasi Squadra Azurri dan wakil-wakil Serie A di Eropa.
Pahit getir sepak bola Indonesia terutama sekali saat menilik kelakuan
oknum pengurus dibawah kepemimpinan Yang "Terhormat" Nurdin Halid!
Seorang Ultras sejati tidak memiliki nama -hanya teman dekat yang
mengetahuinya-. Seorang Ultras sejati tidak dikenal oleh orang lain,
kepalanya selalu tertutup oleh “hood”, hidung dan mulutnya selalu
ditutup oleh syal. Seorang Ultras sejati tidak mengikuti mode dan hal
teranyar lainnya. Saat seorang Ultra berjalan dikeramaian, kendati tanpa
logo supporter, dia akan mudah dikenal orang lain.
Seorang
Ultra sejati hanya menyerang jika diserang dan akan menolong jika
diperlukan. Seorang Ultra sejati tidak akan berhenti kendati tiba di
rumah dan membuka syalnya. Ultra Sejati akan selalu bertarung tujuh hari
dalam seminggu.
Ultra tua akan memimpin dan memberikan contoh
kepada yang muda. Ultra muda harus memberikan rasa hormat kepada yang
tua. Ultra muda akan merasa bangga jika berdiri berdampingan dengan yang
tua, mereka akan belajar dari kritikan si tua. Yang muda akan
bersemangat jika mendapat jabatan tangan erat dari yang tua.
Saat orang normal melihat tingkah laku Ultra, mereka tidak akan
mengerti, tetapi Ultra memang tidak ingin dimengerti atau menjelaskan
arti keberadaan mereka. Setiap Ultra berbeda; ada yang mengenakan logo
supporter atau tim ada juga yang tidak pernah menggunakan keduanya. Ada
yang bepergian dalam sebuah kelompok ada yang pergi secara individu.
Kendati berbeda, satu hal yang membuat mereka bersatu adalah kecintaan
terhadap klub, hasrat mereka untuk berdiri selama 90 menit tidak peduli
hujan atau dingin. Mereka bersatu dan menghangatkan diri dengan teriakan
keras dan serempak, bersatu kendati tertidur setengah mabuk di sebuah
kereta atau bis yang membawa mereka pada pertandingan tandang, bersatu
karena konvoi di pusat kota tim lawan, bersatu karena berbagi sedikit
makanan setelah berjam-jam menahan rasa lapar, bersatu karena berbagi
sebatang rokok, bersatu karena berpenampilan sama, bersatu karena
idealisme, bersatu karena memiliki MENTALITAS yang sama.
Semua
hal diatas menyatukan kami sekaligus menjauhkan kami dari bagian dunia
yang lain; dari orang tua yang khawatir, dari sepupu yang bodoh, dari
teman sekolah atau rekan kerja, dari guru atau bos yang tidak memiliki
rasa toleransi. Ultras tidak pernah melakukan vandalisme atau kekerasan
tanpa alasan. Ini hanya cara untuk bertahan dari hidup yang sudah
terkena krisis masalah sosial, acara televisi yang bodoh, disko yang
terus menerus menarik anak muda dan terpenting tindakan represif yang
tidak dapat dibenarkan (polisi dan federasi).
Menjadi Ultra
adalah seperti ini dan masih banyak lainnya seperti emosi dan hasrat
yang tidak dapat dijelaskan kepada orang lain yang tidak mau mengerti
atau kepada orang yang biasa memutar kepala dan melanjutkan hidup di
balik kaca, orang yang tidak memilik cukup NYALI untuk menghancurkan
kaca dan memasuki DUNIA KITA!
Ultras.. Sebuah kata yang akhir2
ini sangat sering disebut oleh media2 di tanah air seiring dengan
banyaknya tindakkan hooliganisme yang dilakukan beberapa kelompok ultras
di Italia. Sangat lucu sekali membaca beberapa comment di media yang
menyebutkan bahwa ultras memiliki arti 'garis keras' yang selalu di
indentikkan dengan hooliganisme. Tapi apa mau dikata, begitulah media,
begitulah jurnalis, mereka hanya bisa menulis apa yang bisa mereka lihat
tanpa harus benar2 mengerti dan benar2 memahami objek yang mereka
jadikan berita.
Perlu sedikit diluruskan mengenai makna kata
'ultras' sendiri. Ultras bukan nama, Ultras adalah istilah.. sama dengan
kata hooligan yang juga merupakan sebuah istilah. Kata ultras sendiri
berasal dari suku kata Ultra yang dalam bentuk kata sifat berarti
ekstrim dan dalam kata benda berarti ekstrimis penambahan huruf s
sebagai penunjuk bentuk jamak (kelompok). Kata ekstrim sendiri berarti
'yang ter-'. 'yang paling'. 'melebihi yang lain', atau 'lebih dari
biasa'. Bila dihubungkan dengan konteks supporter bisa dikatakan bahwa
ultras berarti kelompok supporter yang memiliki fanatisme, rasa cinta,
dan dukungan yang lebih dari supporter biasa. Sedangkan Hooligan sendiri
adalah istilah yang berarti 'perusuh' atau 'suka berbuat onar'.
Ciri2 kelompok supporter Ultras adalah Selalu bernyanyi mendukung
kesebelasan kebanggaanya, mendukung tim mereka baik dikandang sendiri
maupun dikandang lawan, dan tak pernah meninggalkan tim kebanggannya
baik saat jaya maupun saat terpuruk. Dari ciri2 kelompok ultras
sendiri bisa dikatakan bahwa hampir semua kelompok supporter di
Indonesia adalah Ultras. Slemania itu ultras, The Jak itu ultras,
Aremania itu ultras. klompok supporter lainnya juga ultras. Walau mereka
tidak ada embel2 kata ultras dalam organisasi mereka tapi istilah
ultras tetap mereka sandang karena mereka semua memiliki karakter dan
mentalitas ultras. Meski demikian, ada banyak juga kelompok supporter
(termasuk kami sendiri) yang menggunakan kata ultras sebagai nama
kelompok mereka.
Jadi bisa disimpulkan bahwa Ultras dan
Hooligans adalah dua istilah yang berbeda dengan pengertian yang berbeda
pula. Hampir semua hooligans adalah Ultras, tapi tidak semua Ultras
adalah hooligans..!!
HOOLIGANS adalah fans sepakbola yang
brutal ketika tim idolanya kalah bertanding. Hooligan merupakan
stereotif supporter sepakbola dari Inggris, namun akhi-akhir ini menjadi
fenomena dunia termasuk negara Indonesia sendiri. Sebagian besar dari
hooligan adalah para backpacker yang berpengalaman dalam melakukan
sebuah perjalanan. Tidak sedikit dari mereka yang sering keluar-masuk
penjara karena sering terlibat dalam sebuah bentrokan. Mereka jarang
menggunakan pakaian yang sama dengan tim pujaannya agar tidak terdeksi
kehadiran mereka oleh pihak aparat. Meski demikian, keunggulan dari
hooligan ini mereka paling anti menggunakan senjata dalam melakukan
sebuah duel, karena menurut mereka itu hanyalah sebuah cara yang
dilakukan oleh sekelompok banci.
Diantara Supporter Persija ada
juga yang memang lahir dari komunitas hardmods, bootbois, skinhead,
rudeboys, casuals, dll.. dan membentuk suatu kelompok yang disebut
Persija FIRM (Tiger Boys) seperti di Inggris, namun disisi lain mereka
membakar flare dan membuat syal komunitas, ya mungkin itu kreatifitas
mereka, karena mengikuti suatu kultur, lagipula tidak berarti harus
mengikuti semua pakem bakunya.
Kalian tahu jika kata ultras
berasal dari bahasa latin yang artinya "di luar kebiasaan" kurang lebih
pengertiannya begitu. Mengapa di luar kebiasaan? Karena ultras tidaklah
sama dengan suporter pada umumnya. Mereka BERBEDA atau berusaha BERBEDA.
Jika suporter biasa mungkin ada yang diam saja sepanjang pertandingan
atau ada yang nyayi tapi sebentar.Ultras kebalikannya. Ultras akan terus
bernyanyi dan mendukung tim kesayangannya, baik saat menang maupun
kalah. Totalitas dalam mendukung. Bahkan di beberapa negara para ultras
rela berdiri sepanjang laga. Bernyanyi,bersorak, mengibarkan bendera
klub tanpa henti.
Satu lagi BERBEDANYA ultras, biasanya mereka
memiliki wilayah kekuasaan sendiri di dalam stadion. Pasti kalian pernah
dengar CURVA SUD atau CURVA NORD itu artinya sebutan bagi wilayah
mereka.Seperti Tribun Barat atau Timur. Dipastikan mereka dalam setiap
laga akan mendukung tim di wilayah tersebut, kecuali kalau lagi di
renovasi. Paling seru kalo stadion itu menjadi kandang dua atau tiga tim
yang berbeda. Ultras klub akan ditempatkan bersebrangan. Contohnya klub
Milan dan Inter. Sama-sama main di San Siro atau Giuseppe Meazza.
Ultras keduanya ditempatkan bersebrangan. Jika Milanisti ditempatkan di
Curva Sud. Internisti di Curva Nord. Ga perlu dijelasin khan kenapa
harus dipisahin jauh. Selain untuk menghindari bentrok fisik. Ternyata
ada sisi seni juga loh dibalik pemisahan tersebut. Wih, ultras punya
seni. Biasanya ultras yang dah tinggi level seninya akan berkreasi
dengan melakukan koreografi mendukung tim kesayangannya. Perang seni pun
dapat terjadi kalo dua kubu yang bersebangan saling membalas
koreografi. Ga cuman mencet-mencet hong doang. Berseni khan,bayangin aja
gimana mengelola ratusan hingga ribuan suporter buat bikin kayak gitu.
ULTRAS NIH! Niat ngedukung. Bikin mosaik,koreografi,kibarin bendera dan
banner raksasa, serta nyanti tanpa henti bisa disebut beberapa ciri-ciri
ultras. Pasti bingung gimana bisa kompak.
Pasti harus ada yang
ngomandoin lah aka dirigen aka pemimpin komando sering disebut Capo.
Capo ini yang akan memimpin pergelaran seni ala ULTRAS di stadion.
Biasanya bawa megaphone buat perintahnya kedengeran. Capo ini akan
mengomandoi kapan bernyanyi, koreografi, mozaik, intinya yang ga berenti
ngedukung tim kesayangannya. Capo itu harus diacungi jempol, karena
biasanya mereka malah ga sempet nonton pertandingan, karena sibuk jadi
dirigen. Capo sendiri biasanya adalah pemimpin ultras atau ada juga yang
ditunjuk karena mampu menggerakkan massa distadion. Kelompok ultras
yang pertama kali muncul adalah (almarhum) Fossa dei Leoni, salah satu
kelompok suporter Milan pada 1968. Setahun kemudian kelompok suporter
Inter Milan mendirikan tandingannya Inter Club Fosati yang kemudian
menjadi Boys S.A.N. Boys S.A.N atau Squadre d’Azione Nerazzurra.
FDL dan Boys S.A.N menjadi cikal bakal munculnya ultras-ultras lain di
Italia. Muncullah Yellow-blue Brigade Verona, Viola Club Viesseux
Fiorentina ( 1971), Naples Ultras (1972). Red and Black Brigade Milan,
Griffin's Den Genoa dan Granata Ultras Torino (1973), For Ever Ultras
Bologna (1975). Juventus Fighters (1975),Black and BlueBrigadeAtalanta
(1976),Eagle's Supporters Lazio dan Commando Ultras Curva Sud (CUCS).
Perkembangan selanjutnya aksi para ultras sempat menurun di awal tahun
1980an, Namun kembali bergairah dipertengahan 1980an. Sebenarnya ada
sisi lain dibalik pembentukan ultras selain sebagai kelompok
suporter,yaitu kaitannya dengan gerakan politik. Pembentukan ultras
dipelopori oleh anak muda yang merasa tidak puas dengan kondisi
perpolitikan di Italia saat itu (1960an). Sebagai pelampiasan positifnya
mereka ungkapkan dengan membentuk ultras dan berdemonstrasi ala
suporter di stadion. Oleh karenanya dahulu ultras juga perpanjangan
ideologi politik,bahkan dapat disebut sebagai pelestari paham politik
Italia.
Biasanya setiap ultras punya paham dan ideologi
politiknya masing-masing, dan ternyata sumber keributan antar ultras
itu... Keributan seringkali karena perbedaan ideologi, bukan karena
berbeda klub. Nah, beda banget ama di Indonesia nih. 38. Nah, berkaitan
dengan keributan antar ultras. Dibuatlah sebuah kode etik yang
disepakati oleh seluruh ultras, Ultras Codex. Apa sih Ultras Codex?
Yaitu kode etik yang mengatur persaingan antar ultras agar lebih
beradab.Tidak sekadar saling mencaci. Salah satu kode etik adalah
perebutan bendera ultras. Perebutan ini dilakukan dengan cara hajar
tuntas aka tawuran. Ultras yang menang dari tawuran berhak ngambil
bendera ultras lawan sebagai bukti kemenangan. Di sini Ultras Codex
berperan. Setiap ultras tidak akan pernah melaporkan lawannya terkait
dengan cedera akibat dari pertempuran tersebut, separah apapun. Satu
lagi yang menyatukan Ultras selain Ultras Codex adalah istilah A.C.A.B
bukan CBSA ye. A.C.A.B adalah singkatan dari All Cops Are Bast*rds. Para
ultras sepakat akan A.C.A.B dan menyamakan persepsi bahwa musuh bersama
itu pihak berwajib. Nah, berkaitan dengan A.C.A.B ini.
Tahukah
kalian jika di setiap wilayah ultras di dalam stadion dilarang ada
pihak berwajib. Permintaan tidak adanya pihak berwajib ini diminta
langsung oleh pihak ultras ke pihak klub loh. Cadas! Meskipun demikian
ultras ga memancing ribut ama polisi,kalo di luar kendali polisi tetap
bertindak sesuai hukum berlaku. Oleh karenanya,setiap pemimpin ultras
menjaga benar-benar ulah anggotanya agar tidak melanggar hukum,terutama
Ultras Codex. Setiap ultras memiliki peraturan yang berpegang teguh
kepada Ultras Codex. Respect other and other will respect you too. Untuk
Ultras dalam negeri, memang baru berkembang beberapa tahun ini.
Sebagian besar baru berupa perkumpulan kecil.
tribun berdiri di dalam salah satu sudut stadion mereka). Selain itu pun para ultras paling senang menyalakan kembang api atau petasan di dalam stadion karena hal itu didorong untuk mencari perhatian, bahwa mereka hadir di dalam kerumunan manusia di dalam stadion.
“As an ultra I identify myself with a particular way of life. We are different from ordinary supporters because of our enthusiasm and excitement. This means, obviously, rejoicing and suffering much more acutely than everybody else “.
Nukilan kalimat dari seorang anggota Brigate Rossonere, salah satu ultras AC Milan, membantu kita untuk mengenali fenomena ultras. Ultras bukanlah sekadar kumpulan suporter (tifosi) biasa melainkan kelompok suporter fanatik nan militan yang mengidentifikasikan secara sungguh-sungguh dengan segenap hasrat dan melibatkan dengan amat dalam sisi emosionalnya pada klub yang mereka dukung.
Ultras mempelopori suporter yang amat terorganisir (highly organized) dengan gaya dukung ‘teatrikal’ yang kemudian menjalar ke negara-negara lain. Model tersebut sekarang telah begitu mendominasi di Prancis, dan bisa dibilang telah memberi pengaruh pada suporter Denmark ‘Roligans’, beberapa kelompok suporter tim nasional Belanda dan bahkan suporter Skotlandia ‘Tartan Army’
Model tersebut masyhur karena menampilkan pertunjukan-pertunjukan spektakuler meliputi kostum yang terkoordinir, kibaran aneka bendera, spanduk & panji raksasa, pertunjukan bom asap warna-warni, nyala kembang api (flares) dan bahkan sinar laser serta koor lagu dan nyanyian hasil koreografi, dipimpin oleh seorang CapoTifoso yang menggunakan megaphones untuk memandu selama jalannya pertandingan.
Dalam tradisi calcio, ultras adalah “baron” dalam stadion. Mereka menempati dan menguasai salah satu sisi tribun stadion, biasanya di belakang gawang, yang kemudian lazim dikenal dengan sebutan curva. Ultras tersebut menempati salah satu curva itu, baik nord (utara) atau sud (selatan), secara konsisten hingga bertahun-tahun kemudian. Utras dari klub-klub yang berbeda ditempatkan pada curva yang saling berseberangan. Selain itu, berlaku aturan main yang unik yaitu polisi tidak diperkenankan berada di kedua sisi curva itu.
Kelompok Ultras yang pertama lahir adalah (Alm.) Fossa dei Leoni, salah satu kelompok suporter klub AC Milan, pada tahun 1968. Setahun kemudian pendukung klub sekota sekaligus rival, Internazionale Milan, membuat tandingan yaitu Inter Club Fossati yang kemudian berubah nama menjadi Boys S.A.N (Squadre d’Azione Nerazzurra). Fenomena ultras sempat surut dan muncul lagi untuk menginspirasi dunia dengan aksi-aksi megahnya pada pertengahan tahun 1980-an.
Fenomena ultras sendiri diilhami dari demontrasi-demontrasi yang dilakukan anak-anak muda pada saat ketidakpastian politik melanda Italia di akhir 1960-an. Alhasil, sejatinya ultras adalah simpati politik dan representasi ideologis. Setiap ultra memiliki basis ideologi dan aliran politik yang beragam, meski mereka mendukung klub yang sama. Ultras memiliki andil “melestarikan” paham-paham tua seperti facism, dankomunism socialism
.
Mayoritas ketegangan antar suporter disebabkan oleh perbedaan pilihan ideologis daripada perbedaan klub kesayangan. Untungnya, dalam tradisi Ultras di Italia terdapat kode etik yang namanya Ultras codex. Salah satu fungsi kode etik itu “mengatur” pertempuran antar ultras tersebut bisa berlangsung lebih fair dan “berbudaya”. Salah satu etika itu adalah dalam hal bukti kemenangan, maka bendera dariultras yang kalah akan diambil oleh ultras pemenang. Kode etik lainnya ialah, seburuk apapun paratifosi itu mengalami kekejaman dari tifosi lainnya, maka tidak diperkenankan untuk lapor polisi.
Dewasa ini, ultras kerap dipandang sebagai lanjutan atau warisan dari periode ketidakpastian dan kekerasan politik 1960-an hingga 1970-an. Berbagai kesamaan pada tindak tanduk mereka disebut sebagai bukti dari sangkut paut ini. Kesamaan-kesamaan itu tampak pada nyanyian lagu - yang umumnya digubah dari lagu–lagu komunis tradisional - lambaian bendera dan panji, kesetiaan sepenuh hati pada kelompok dan perubahan sekutu dengan ultras lainnya, dan, tentunya, keikutsertaan dalam kekacauan dan kekerasan baik antara mereka sendiri dan melawan polisi!
Bentrok dengan polisi menjadi salah satu tabiat asli ultras. Bagi ultras, polisi adalah hal yang diharamkan alias A.C.A.B (All Cops Are Bastar*s). Sebulan sebelum Sandri terbunuh, muncul klaim dari pihak polisi yang menyatakan bahwa tak kurang dari 268 kelompok ultra dengan aspirasi politik, semuanya memiliki semangat kebencian pada polisi. Selain itu, masih menurut polisi, mayoritas kelompok tersebut berhubungan dengan gerakan ekstrim kanan yang fasis.
Tak hanya polisi, manajemen klub, staff pelatih dan bahkan pemain juga pernah mengalami perlakuan tidak menyenangkan dari ultras. Beberapa kelompok Ultras dalam menjamin dukungannya (terutama dalam pertandingan tandang), memaksa klub untuk memberi jatah tiket gratis, keuntungan perjalanan, dan bahkan hak atas merchandise. Ketegangan dengan pihak klub kerap berujung boikot dukungan pertandingan di kandang.
Namun sebenarnya ultras tidak seseram yang dibayangkan. Bahkan dibandingkan dengan Hools (FIRM) di inggris. Karena sebenarnya ultras menjauhi yang namanya keributan. (walaupun ada yg suka nyari masalah).Dan tidak semua kelompok ultras berafiliasi politik. memang ada yang kanan, kiri, merah, dsb...Tapi yang tidak bermain politik juga ada.
Pelatih atau manajer yang mundur (bukan karena dipecat manajemen klub) biasanya adalah produk dari tekanan ultras. Dari pihak pemain, Christian “Bobo” Vieri pernah mengalami teror fisik dari ultrasInter, termasuk dirusaknya salah satu properti bisnisnya, karena dianggap berkurang kadar loyalitasnya pada tim.
Dengan kemegahan dan kesuramannya ultras adalah fenomena khas Italia, representasi masyarakat Italia, dan identitas calcio. Seperti halnya kualitas Lega Serie A yang menjadi kiblat dunia sepak bola, seperti sistem catenaccio yang mengilhami banyak pelatih di dunia, maka aksi ultras di stadion pun menjadi rujukan dan referensi bagi suporter-suporter negara lain, termasuk kelompok suporter di Indonesia.
Suporter Indonesia Rasa Ultras
Suporter di Indonesia sedang berada dalam periode bertumbuh. Dalam lima tahun terakhir ini, muncul kelompok-kelompok suporter terorganisir. Suatu fenomena yang berdampak amat positif bagi perkembangan sepak bola nasional. Kehadiran kelompok suporter ini sedikit banyak merubah gaya dukung dan pola perilaku penonton di lapangan. Secara keseluruhan, berdampak pada industri sepak bola nasional yang lebih semarak dan berwarna.
Tak bisa dipungkiri aksi-aksi kreatif kelompok suporter di Indonesia ini mengadopsi gaya suporter luar negeri. Meski di kemudian hari, terjadi proses kreatif dengan lebih banyak menampilkan produk budaya lokal. Suporter luar negeri yang menginspirasi itu bisa dari Barras Bravas (Argentina/Amerika Latin),Roligan (Denmark), Tartan Army (Skotlandia) dan tentunya Italian Ultras!
Kentalnya budaya ultras bisa dilihat dengan teramat jelas dari atraksi kelompok suporter kita di lapangan. Mulai dari menempati sisi tribun tertentu meski tidak selalu di belakang gawang. Namun yang konsisten di sekitar belakang gawang diantaranya yaitu ,Utras Persija,Orange Street Boys(Persija),Slemania (PSS Sleman), dan Brajamusti (PSIM Jogjakarta), sedangkan beberapa kelompok suporter lainnya lebih suka di tribun tengah menghadap kamera! Menggunakan istilah asing (Ultras) terkadang tidak juga salah asal mengerti dan paham mengenai istilah tersebut. Ultras yang dipakai lebih ke mentalitasnya.. nilai2nya... Saat supporter berdiri 90 menit dan meneriakkan lagu2 pembangkit semangat (bukan lagu2 cacian kepada suatu kelompok), tak peduli hasil yang dicapai,itu juga merupakan bagian dari nilai2 ultras... saat anda melakukan koreografi2 memukau, itu bagian dari nilai2 ultras..ataupun saat kami bertempur dengan supporter , itu juga bagian dari nilai2 ultras..yang jelas Ultras tidak akan menyerang jika tidak diserang terlebih dahulu,tidak akan menolong jika tidak diperlukan
Tapi nilai2 itu, pastilah tercampur dengan budaya kita sendiri... terkadang beberapa komunitas di dalam suporter Persija juga menggunakan istilah ultras, walaupun saat mengaku ultras, mereka dengan bangganya berfoto2 menunjukkan identitas mereka, ya mungkin itu pemahaman akan arti ultras oleh mereka...(narsisme)… Di Luar Negri (Italy,Inggris,German,dll) seorang ULTRAS mungkin tidak punya KTA/ID Card atau bahkan kelompok tersebut sampai memiliki AD/ART karena mereka sangat paham arti kata Ultras, alasan mereka datang ke stadion benar-benar dari Hati dan Jiwanya..bukan juga karena UANG…sedangkan di INDONESIA UANG adalah alat detok sempurna untuk sebuah loyalitas..Orang bisa pindah agama,keyakinan,Klub,bahkan Partai.. Bagi saya AGAMA bisa dipeluk oleh ribuan bahkan jutaan umat,TETAPI SEORANG manusia hanya bisa PELUK SATU AGAMA, apabila ada yg percaya selain TUHANnya maka disebut Musyrik Bahkan KAFIR...Team Sepakbola yang saya dukung Bisa didukung oleh puluhan ribu supporter,TETAPI SEORANG SUPPORTER HANYA BISA MEMILIH SATU TEAM SEPAKBOLA SAJA...Tetapi jika mendukung lebih dari satu team,maka bisa disebut orang yang tidak memiliki komitmen atau bahkan bisa dicap Pengkhianat…maka d iIndonesia muncul slogan seperti SATU JAKARTA SATU (PERSIJA) ,SALAM SATU JIWA(AREMA) dll. Pendukung suatu klub tak harus wadah tunggal (seperti Orde Baru). Apalagi saat ini, mereka (kelompok suporter) melengkapi dengan AD/ART bahkan disahkan dengan akte notaris segala. Ujung-ujungnya adalah konflik kepentingan dan potensi dimanfaatkan elit politik. Contoh di SRIWIJAYA FC supporter Singamania dan Beladas, di Persiba ada PFC dan Balistik, di PERSIJAP ada Banaspati dan JETMEN,dll
Nah kalo ultras di Indonesia itu yang hebat, terlalu rapi. Kalo diluar negeri mereka hanya merupakan komunitas ataupun kelompok. Kalo disini, kebanyakan merupakan organisasi yang memiliki AD/ART. Parahnya masyarakat awam tidak bisa membedakan yang mana julukan suporter dengan nama kelompok suporter. Seperti contoh The Jakmania. Yang merupakan organisasi suporter pendukung Persija, tapi sering diartikan sebagai julukan untuk menyebut seluruh suporter Persija. Padahal gak semua suporter Persija adalah anggota The Jakmania. Dan memang tidak semua klub punya julukan bagi suporter mereka.
Dirijen seperti Yuli Sumpil, yang sohor itu adalah manifestasi seorang CapoTifoso. Yuli memiliki wibawa seorang CapoTifoso, apabila ia memerintahkan untuk melakukan suatu gerakan maka akan dipatuhi oleh suporter termasuk (seandainya) memerintahkan mengintimidasi pemain lawan dengan lemparan benda-benda, tetapi apabila ia melarang, maka tidak ada satu pun suporter yang berani melawannya. Walaupun ada yang berpendapat seorang Yuli Sumpil tidak pantas disebut demikian Karena dia "hanya" memimpin Aremania. Beda dengan capo tifoso di curva sud atau nord di Itali misalnya. Yang tidak hanya memimpin kelompoknya, tapi memimpin seluruh kelompok yang ada di curva itu, untuk membentuk koreo yang indah..
Belum lagi kostum yang terkoordinir, dan bentangan spanduk yang di pinggir-pinggir lapangan adalah rasa ultras pada suporter Indonesia. Sayangnya, prestasi tim nasional dan klub-klubnya tak semanis prestasi Squadra Azurri dan wakil-wakil Serie A di Eropa. Pahit getir sepak bola Indonesia terutama sekali saat menilik kelakuan oknum pengurus dibawah kepemimpinan Yang "Terhormat" Nurdin Halid!
Seorang Ultras sejati tidak memiliki nama -hanya teman dekat yang mengetahuinya-. Seorang Ultras sejati tidak dikenal oleh orang lain, kepalanya selalu tertutup oleh “hood”, hidung dan mulutnya selalu ditutup oleh syal. Seorang Ultras sejati tidak mengikuti mode dan hal teranyar lainnya. Saat seorang Ultra berjalan dikeramaian, kendati tanpa logo supporter, dia akan mudah dikenal orang lain.
Seorang Ultra sejati hanya menyerang jika diserang dan akan menolong jika diperlukan. Seorang Ultra sejati tidak akan berhenti kendati tiba di rumah dan membuka syalnya. Ultra Sejati akan selalu bertarung tujuh hari dalam seminggu.
Ultra tua akan memimpin dan memberikan contoh kepada yang muda. Ultra muda harus memberikan rasa hormat kepada yang tua. Ultra muda akan merasa bangga jika berdiri berdampingan dengan yang tua, mereka akan belajar dari kritikan si tua. Yang muda akan bersemangat jika mendapat jabatan tangan erat dari yang tua.
Saat orang normal melihat tingkah laku Ultra, mereka tidak akan mengerti, tetapi Ultra memang tidak ingin dimengerti atau menjelaskan arti keberadaan mereka. Setiap Ultra berbeda; ada yang mengenakan logo supporter atau tim ada juga yang tidak pernah menggunakan keduanya. Ada yang bepergian dalam sebuah kelompok ada yang pergi secara individu.
Kendati berbeda, satu hal yang membuat mereka bersatu adalah kecintaan terhadap klub, hasrat mereka untuk berdiri selama 90 menit tidak peduli hujan atau dingin. Mereka bersatu dan menghangatkan diri dengan teriakan keras dan serempak, bersatu kendati tertidur setengah mabuk di sebuah kereta atau bis yang membawa mereka pada pertandingan tandang, bersatu karena konvoi di pusat kota tim lawan, bersatu karena berbagi sedikit makanan setelah berjam-jam menahan rasa lapar, bersatu karena berbagi sebatang rokok, bersatu karena berpenampilan sama, bersatu karena idealisme, bersatu karena memiliki MENTALITAS yang sama.
Semua hal diatas menyatukan kami sekaligus menjauhkan kami dari bagian dunia yang lain; dari orang tua yang khawatir, dari sepupu yang bodoh, dari teman sekolah atau rekan kerja, dari guru atau bos yang tidak memiliki rasa toleransi. Ultras tidak pernah melakukan vandalisme atau kekerasan tanpa alasan. Ini hanya cara untuk bertahan dari hidup yang sudah terkena krisis masalah sosial, acara televisi yang bodoh, disko yang terus menerus menarik anak muda dan terpenting tindakan represif yang tidak dapat dibenarkan (polisi dan federasi).
Menjadi Ultra adalah seperti ini dan masih banyak lainnya seperti emosi dan hasrat yang tidak dapat dijelaskan kepada orang lain yang tidak mau mengerti atau kepada orang yang biasa memutar kepala dan melanjutkan hidup di balik kaca, orang yang tidak memilik cukup NYALI untuk menghancurkan kaca dan memasuki DUNIA KITA!
Ultras.. Sebuah kata yang akhir2 ini sangat sering disebut oleh media2 di tanah air seiring dengan banyaknya tindakkan hooliganisme yang dilakukan beberapa kelompok ultras di Italia. Sangat lucu sekali membaca beberapa comment di media yang menyebutkan bahwa ultras memiliki arti 'garis keras' yang selalu di indentikkan dengan hooliganisme. Tapi apa mau dikata, begitulah media, begitulah jurnalis, mereka hanya bisa menulis apa yang bisa mereka lihat tanpa harus benar2 mengerti dan benar2 memahami objek yang mereka jadikan berita.
Perlu sedikit diluruskan mengenai makna kata 'ultras' sendiri. Ultras bukan nama, Ultras adalah istilah.. sama dengan kata hooligan yang juga merupakan sebuah istilah. Kata ultras sendiri berasal dari suku kata Ultra yang dalam bentuk kata sifat berarti ekstrim dan dalam kata benda berarti ekstrimis penambahan huruf s sebagai penunjuk bentuk jamak (kelompok). Kata ekstrim sendiri berarti 'yang ter-'. 'yang paling'. 'melebihi yang lain', atau 'lebih dari biasa'. Bila dihubungkan dengan konteks supporter bisa dikatakan bahwa ultras berarti kelompok supporter yang memiliki fanatisme, rasa cinta, dan dukungan yang lebih dari supporter biasa. Sedangkan Hooligan sendiri adalah istilah yang berarti 'perusuh' atau 'suka berbuat onar'.
Ciri2 kelompok supporter Ultras adalah Selalu bernyanyi mendukung kesebelasan kebanggaanya, mendukung tim mereka baik dikandang sendiri maupun dikandang lawan, dan tak pernah meninggalkan tim kebanggannya baik saat jaya maupun saat terpuruk. Dari ciri2 kelompok ultras
sendiri bisa dikatakan bahwa hampir semua kelompok supporter di Indonesia adalah Ultras. Slemania itu ultras, The Jak itu ultras, Aremania itu ultras. klompok supporter lainnya juga ultras. Walau mereka tidak ada embel2 kata ultras dalam organisasi mereka tapi istilah ultras tetap mereka sandang karena mereka semua memiliki karakter dan mentalitas ultras. Meski demikian, ada banyak juga kelompok supporter (termasuk kami sendiri) yang menggunakan kata ultras sebagai nama kelompok mereka.
Jadi bisa disimpulkan bahwa Ultras dan Hooligans adalah dua istilah yang berbeda dengan pengertian yang berbeda pula. Hampir semua hooligans adalah Ultras, tapi tidak semua Ultras adalah hooligans..!!
HOOLIGANS adalah fans sepakbola yang brutal ketika tim idolanya kalah bertanding. Hooligan merupakan stereotif supporter sepakbola dari Inggris, namun akhi-akhir ini menjadi fenomena dunia termasuk negara Indonesia sendiri. Sebagian besar dari hooligan adalah para backpacker yang berpengalaman dalam melakukan sebuah perjalanan. Tidak sedikit dari mereka yang sering keluar-masuk penjara karena sering terlibat dalam sebuah bentrokan. Mereka jarang menggunakan pakaian yang sama dengan tim pujaannya agar tidak terdeksi kehadiran mereka oleh pihak aparat. Meski demikian, keunggulan dari hooligan ini mereka paling anti menggunakan senjata dalam melakukan sebuah duel, karena menurut mereka itu hanyalah sebuah cara yang dilakukan oleh sekelompok banci.
Diantara Supporter Persija ada juga yang memang lahir dari komunitas hardmods, bootbois, skinhead, rudeboys, casuals, dll.. dan membentuk suatu kelompok yang disebut Persija FIRM (Tiger Boys) seperti di Inggris, namun disisi lain mereka membakar flare dan membuat syal komunitas, ya mungkin itu kreatifitas mereka, karena mengikuti suatu kultur, lagipula tidak berarti harus mengikuti semua pakem bakunya.
Kalian tahu jika kata ultras berasal dari bahasa latin yang artinya "di luar kebiasaan" kurang lebih pengertiannya begitu. Mengapa di luar kebiasaan? Karena ultras tidaklah sama dengan suporter pada umumnya. Mereka BERBEDA atau berusaha BERBEDA. Jika suporter biasa mungkin ada yang diam saja sepanjang pertandingan atau ada yang nyayi tapi sebentar.Ultras kebalikannya. Ultras akan terus bernyanyi dan mendukung tim kesayangannya, baik saat menang maupun kalah. Totalitas dalam mendukung. Bahkan di beberapa negara para ultras rela berdiri sepanjang laga. Bernyanyi,bersorak, mengibarkan bendera klub tanpa henti.
Satu lagi BERBEDANYA ultras, biasanya mereka memiliki wilayah kekuasaan sendiri di dalam stadion. Pasti kalian pernah dengar CURVA SUD atau CURVA NORD itu artinya sebutan bagi wilayah mereka.Seperti Tribun Barat atau Timur. Dipastikan mereka dalam setiap laga akan mendukung tim di wilayah tersebut, kecuali kalau lagi di renovasi. Paling seru kalo stadion itu menjadi kandang dua atau tiga tim yang berbeda. Ultras klub akan ditempatkan bersebrangan. Contohnya klub Milan dan Inter. Sama-sama main di San Siro atau Giuseppe Meazza. Ultras keduanya ditempatkan bersebrangan. Jika Milanisti ditempatkan di Curva Sud. Internisti di Curva Nord. Ga perlu dijelasin khan kenapa harus dipisahin jauh. Selain untuk menghindari bentrok fisik. Ternyata ada sisi seni juga loh dibalik pemisahan tersebut. Wih, ultras punya seni. Biasanya ultras yang dah tinggi level seninya akan berkreasi dengan melakukan koreografi mendukung tim kesayangannya. Perang seni pun dapat terjadi kalo dua kubu yang bersebangan saling membalas koreografi. Ga cuman mencet-mencet hong doang. Berseni khan,bayangin aja gimana mengelola ratusan hingga ribuan suporter buat bikin kayak gitu. ULTRAS NIH! Niat ngedukung. Bikin mosaik,koreografi,kibarin bendera dan banner raksasa, serta nyanti tanpa henti bisa disebut beberapa ciri-ciri ultras. Pasti bingung gimana bisa kompak.
Pasti harus ada yang ngomandoin lah aka dirigen aka pemimpin komando sering disebut Capo. Capo ini yang akan memimpin pergelaran seni ala ULTRAS di stadion. Biasanya bawa megaphone buat perintahnya kedengeran. Capo ini akan mengomandoi kapan bernyanyi, koreografi, mozaik, intinya yang ga berenti ngedukung tim kesayangannya. Capo itu harus diacungi jempol, karena biasanya mereka malah ga sempet nonton pertandingan, karena sibuk jadi dirigen. Capo sendiri biasanya adalah pemimpin ultras atau ada juga yang ditunjuk karena mampu menggerakkan massa distadion. Kelompok ultras yang pertama kali muncul adalah (almarhum) Fossa dei Leoni, salah satu kelompok suporter Milan pada 1968. Setahun kemudian kelompok suporter Inter Milan mendirikan tandingannya Inter Club Fosati yang kemudian menjadi Boys S.A.N. Boys S.A.N atau Squadre d’Azione Nerazzurra.
FDL dan Boys S.A.N menjadi cikal bakal munculnya ultras-ultras lain di Italia. Muncullah Yellow-blue Brigade Verona, Viola Club Viesseux Fiorentina ( 1971), Naples Ultras (1972). Red and Black Brigade Milan, Griffin's Den Genoa dan Granata Ultras Torino (1973), For Ever Ultras Bologna (1975). Juventus Fighters (1975),Black and BlueBrigadeAtalanta (1976),Eagle's Supporters Lazio dan Commando Ultras Curva Sud (CUCS). Perkembangan selanjutnya aksi para ultras sempat menurun di awal tahun 1980an, Namun kembali bergairah dipertengahan 1980an. Sebenarnya ada sisi lain dibalik pembentukan ultras selain sebagai kelompok suporter,yaitu kaitannya dengan gerakan politik. Pembentukan ultras dipelopori oleh anak muda yang merasa tidak puas dengan kondisi perpolitikan di Italia saat itu (1960an). Sebagai pelampiasan positifnya mereka ungkapkan dengan membentuk ultras dan berdemonstrasi ala suporter di stadion. Oleh karenanya dahulu ultras juga perpanjangan ideologi politik,bahkan dapat disebut sebagai pelestari paham politik Italia.
Biasanya setiap ultras punya paham dan ideologi politiknya masing-masing, dan ternyata sumber keributan antar ultras itu... Keributan seringkali karena perbedaan ideologi, bukan karena berbeda klub. Nah, beda banget ama di Indonesia nih. 38. Nah, berkaitan dengan keributan antar ultras. Dibuatlah sebuah kode etik yang disepakati oleh seluruh ultras, Ultras Codex. Apa sih Ultras Codex? Yaitu kode etik yang mengatur persaingan antar ultras agar lebih beradab.Tidak sekadar saling mencaci. Salah satu kode etik adalah perebutan bendera ultras. Perebutan ini dilakukan dengan cara hajar tuntas aka tawuran. Ultras yang menang dari tawuran berhak ngambil bendera ultras lawan sebagai bukti kemenangan. Di sini Ultras Codex berperan. Setiap ultras tidak akan pernah melaporkan lawannya terkait dengan cedera akibat dari pertempuran tersebut, separah apapun. Satu lagi yang menyatukan Ultras selain Ultras Codex adalah istilah A.C.A.B bukan CBSA ye. A.C.A.B adalah singkatan dari All Cops Are Bast*rds. Para ultras sepakat akan A.C.A.B dan menyamakan persepsi bahwa musuh bersama itu pihak berwajib. Nah, berkaitan dengan A.C.A.B ini.
Tahukah kalian jika di setiap wilayah ultras di dalam stadion dilarang ada pihak berwajib. Permintaan tidak adanya pihak berwajib ini diminta langsung oleh pihak ultras ke pihak klub loh. Cadas! Meskipun demikian ultras ga memancing ribut ama polisi,kalo di luar kendali polisi tetap bertindak sesuai hukum berlaku. Oleh karenanya,setiap pemimpin ultras menjaga benar-benar ulah anggotanya agar tidak melanggar hukum,terutama Ultras Codex. Setiap ultras memiliki peraturan yang berpegang teguh kepada Ultras Codex. Respect other and other will respect you too. Untuk Ultras dalam negeri, memang baru berkembang beberapa tahun ini. Sebagian besar baru berupa perkumpulan kecil.
No comments:
Post a Comment